Selasa, 18 Agustus 2009

KONTEKSTUALITAS ARSITEKTUR SEBAGAI KEBUTUHAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

I. Arsitektur Sebagai Agen Pembangunan Berkelanjutan

1. Pembangunan berkelanjutan

Hakekat dari pembangunan adalah suatu proses yang secara terus menerus atau berkesinambungan menuju kesejahteraan umat manusia. Dalam hal ini, manusia menjadi sentral dari konsep pembangunan dimana dalam sentralitas ini, diperlukan keseimbangan dalam pengelolaan aspek-aspek pembangunan. Tanpa keseimbangan ini, perjalanan pembangunan akan tersendat dan terputus yang pada akhirnya mendatangkan kesengsaraan umat manusia itu sendiri seperti pada saat ini sudah terjadi.

Sejalan dengan pemikiran ini, konsep pembangunan berkelanjutan yang akhir-akhir ini diusung sebagai solusi permasalahan lingkunan dan sosial. Berdasarkan laporan Brundtland dalam World Commission of Environment and Development (WCED), 1987, pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) memiliki pengertian sebagai berikut :

Development which meets the needsof the current generation without compromising the ability of future generations to meet their own needs.

Kemudian Surjono (2009) menanggapi pengertian ini dengan mengemukakan bahwa kelangsungan sumber daya alam merupakan kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan dimana terjadi keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan daya dukung alam/lingkungan. Dalam mendukung keseimbangan ini, pembangunan berkelanjutan harus didukung oleh aspek pilar yaitu aspek sosial budaya, ekonomi dan lingkungan. Dari pemahaman ini, dapat dimengerti bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan ranah multidisiplin yang harus dijalankan secara terintegrasi.


Skema 1. Ketiga Aspek Pembangunan Pembangunan Berkelanjutan


2. Peran arsitektur dalam pembangunan berkelanjutan

Secara umum, proses pembangunan dalam beberapa tahap besar, yaitu proses perencanaan, pelaksanaan, kemudian termanifestasi dalam hasil pembangunan serta monitoring/evaluasi dan umpan balik. Proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan umpan balik terkait dengan pengambilan keputusan dimana dalam perencanaan dilakukan pengambilan keputusan mengenai program dan strategi pembangunan yang akan dijalankan, pada tahap pelaksanaan dilakukan pengambilan keputusan mengenai manajerial proses pengadaan fisik, monitoring/evaluasi dan umpan balik terkait pengambilan keputusan mengenai dampak dan pengembangan program/strategi sebelumnya. Pada akhirnya, seluruh tahapan ini mengarah pada hasil sebagai produk pembangunan. Produk inilah yang kemudian berpengaruh pada lingkungan binaan dan manusia yang kemudian menentukan kualitas pembangunan tersebut.


Skema 2. Aspek Pengambilan Keputusan dan Aspek Produk Kegiatan Pembangunan


Arsitektur dalam hal ini memberi kontribusi dengan dua aspek utamanya yaitu arsitektur sebagai proses dan arsitektur sebagai produk. Sebagai sebuah proses, arsitektur merupakan bentuk pengambilan keputusan yang melibatkan pemikiran atau konsep multidimensi yang meliputi sosial budaya, alam, ekonomi, politik dan teknik konstruksi/teknologi untuk mewujudkan lingkungan binaan yang berkualitas bagi kehidupan manusia. Sebagai produk, arsitektur memanifestasikan keputusan dalam ruang dengan segala nilai dan fungsinya. Ruang ini yang kemudian berinteraksi pada manusia dan satu sama lain akan saling mempengaruhi. Apabila pengaruh ini harmonis akan tercipta lingkungan yang setimbang dengan masyarakat yang makmur dan lingkungan yang lestari sementara apabila tidak setimbang, maka ada salah satu pihak yang dirugikan/rusak dan pada akhirnya manusia juga yang akan sengsara.

Skema 3. Aspek Pengambilan Keputusan dan Aspek Produk Arsitektur


Dalam pembangunan lingkungan secara luas, arsitektur sering mengambil posisi di tingkat mikro yang kemudian menyebar dan pada akhirnya menguasai ranah ruang secara kewilayahan. Dalam proses pembangunan sebuah kota, komplek pertokoan, perkantoran dan perumahan di desain serta dibangun secara terpisah dengan segala penataan lansekapnya yang kemudian objek-objek ini bersatu dalam bentukan ruang terbuka atau koridor jalan mewujudkan suatu lingkungan binaan. Bentukan lingkungan binaan ini kemudian dalam proses yang kompleks mempengaruhi ketiga aspek pembangunan berkelanjutan di atas. Bisa dibayangkan bahwa ternyata pengambilan keputusan mikro arsitektural yang dilakukan secara terpisah bisa membentuk suatu produk makro yang berdampak luas bagi kesetimbangan lingkungan dan manusia penghuninya.

Gambar 1. Gambaran Perwujudan Ruang Perkotaan Hasil Pengambilan Keputusan Arsitektural

Sumber : www.ecocity.com


II. Kontribusi Arsitektur Dalam Aspek-Aspek Pembangunan Berkelanjutan

1. Aspek Lingkungan

Dalam skala kawasan dan kewilayahan, pembangunan lingkungan fisik harus mengikuti pota tatanan tertentu dalam bentuk tata guna lahan (TGL). Dalam TGL ini terkandung semua informasi terkait pola pemanfaatan lahan dan perlindungan alam. Oleh karena ini, agar penatagunaan lahan memiliki dasar yang kuat, perencanaan harus dilakukan secara utuh berasaskan informasi lingkungan.

Sumber daya alam memiliki peranan yang sangat penting terkait kualitas kehidupan dan kualitas air. Surjono (2009) menguraikan bahwa kondisi alam mampu mendorong citra perkotaan dimana 39% masyarakat di negara maju menyebut taman kota, danau, sungai serta ruang terbuka sebagai fitur paling menarik dari suatu kota. Terkait dengan kualitas air, lingkungan alam memberikan free service seperti penyaringan air tanah, pegurangan run off dan penyimpan air tanah. Berikut ini diuraikan beberapa kegunaan ruang terbuka hijau bagi peningkatan kualitas kehidupan dan air perkotaan (Surjono, 2009) :

· Natural resource protection : perlindungan habitat, tanaman dan satwa serta air dan tanah.

· Working lands : menyediakan komoditas sumber daya alam yang menunjang perekonomian kota dan wilayah

· Outdoor recreation : memberi tempat rekreasi aktif dan asif termasuk taman, jalur hijau, lapangan olah raga, fitur keairan dan lain sebagainya.

· Public health and safetyPublic health and safety : melindungi warga dan properti dari bencana alam. Yang termasuk dengan aspek ini antara lain sumur resapan, kawasan resapan banjir, kelerengan yang tajam dan lain sebagainya.

· Community character : memberi masyarakat sense of identity dan sense of place yang meliputi kawasan bersejarah, pemandangan alam yang indah dan lain sebagainya.


Permasalahan kemudian terjadi saat terjadi kesalahan perencanaan atau perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahannya. Ada banyak kasus yang melibatkan bangunan sebagai produk arsitektur dalam pengrusakan lingkungan perkotaan. Sungguh mengherankan apabila di Jalan Veteran Kota Malang terjadi banjir yang sampai menghambat lalu lintas dan menggenangi parkir basement Mall Malang Town Square (MATOS) sementara kira-kira kurang dari 300 meter ke arah utara terdapat Sungai Brantas yang siap menerima tampungan air. Hal ini tidak pernah terjadi saat kawasan Jalan Veteran masih memiliki ruang terbuka sebagai kawasan tangkapan air. Demikian juga dengan perubahan tata guna lahan kawasan sekitar Musium Brawijaya Kota Malang yang sebelumnya adalah kawasan resapan air menjadi kawasan perumahan mewah. Lebih lanjut pada tingkat kawasan dan kewilayahan, tata ruang perkotaan sebagai akumulasi dari produk arsitektur, memberi sumbangan besar pada penimbunan polusi udara yang disebut gas rumah kaca. Tata ruang yang semrawut mengurangi efisiensi transportasi yang kemudian meningkatkan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil.


2. Aspek Ekonomi.

Dalam makalahnya, Surjono (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sering mendominasi kebutuhan kelestarian lingkungan dan kebutuhan sosial masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan otonomi daerah, para pemerintah daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan ruang. Selain itu, permasalahan perekonomian wilayah juga dikaitkan dengan tingginya kesenjangan antar daerah.

Potensi ekonomi lokal kemudian menjadi tumpuan harapan setiap daerah dalam meningkatkan kemandirian daerah dan memeratakan kesejahteraan warganya. Potensi ekonomi lokal yang dinyatakan sebagai sektor basis ini dapat berupa industri kecil khas masyarakat, komoditas kerajinan bahan tambang maupun komoditas budidaya masyarakat. Kemandirian yang dipupuk dengan pengembangan sektor basis ini akan memeratakan pendapatan masyarakat sehingga pembangunan dapat berjalan secara lebih terkendali baik dalam hal pembangunan fisik maupun pemeliharaan lingkungan hidup.

Tantangan terbesar perekonomian kerakyatan di atas adalah jargon ekonomi global yang disebut sebagai kapitalisme. Kapitalisme ini hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan investor dengan hanya sedikit sekali (atau bahkan tidak ada) kontribusi bagi kas daerah. Hal ini sangat dimungkinkan karena sebagian besar investor berasal dari luar daerah (bahkan luar negeri) dimana mereka lebih suka menyimpan dana di bank internasional dan membelanjakan pendapatan di pasar global. Bisa dibayangkan dompet masyarakat akan terkuras keluar daerah sehingga perputaran dana/modal dalam daerah sangat kecil. Berikut ini dapat disimak skema pengurasan sumber daya ekonomi suatu wilayah perkotaan yang melibatkan mall sebagai alat ekonomi.

Skema 4. Pengurasan Sumber Daya Ekonomi Perkotaan


Seperti sudah diuraikan diatas, bahwa kapitalisme merupakan permasalahan pokok dalam aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan. Sebagai sebuah ideology, kapitalisme dapat mempergunakan konsep pembangunan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Arsitektur merupakan salah satu alat yang sering dipergunakan baik dalam bentuk unit bangunan, ornamentasi perkotaan maupun lansekap.

Imperialisme ekonomi pertama sekali mempergunakan aspek pengambilan keputusan arsitektural untuk melayakkan suatu site bagi pembangunan fasilitas komersial tertentu. Sebagai contoh, site MATOS Malang pada awalnya adalah kompleks fasilitas pendidikan yang kaya akan pepohonan dan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Pada masa Orde Baru, komleks fasilitas pendidikan ini diubah menjadi perumahan mewah yang kemudian terhenti (mangkrak). Setelah masa Reformasi muncul kembali niat untuk menghijaukan kembali kawasan ini yang digagalkan dengan pengubahan tata guna lahan sebagai kawasan komersial berskala regional (Malang Towan Square). Dari contoh ini, kebijakan atau kemauan politik (politcal willingness) memiliki kuasa yang sangat besar dalam mengubah arah proses pengambilan keputusan arsitetural.

Hasil dari pengambilan keputusan di atas adalah produk arsitektural berupa bangunan gedung pusat perbelanjaan one stop shopping yang menjadi magnet masyarakat Kota Malang dan sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan menumpukkan bus-bus wisata pada akhir pekan untuk mengantar pengunjung Matos dan kepadatan kendaraan bermotor disekitar Jalan Veteran. Dalam aspek lingkungan seperti sudah diuraikan di atas adalah timbulnya masalah banjir karena hilangnya kawasan resapan air. Hal lain yang cukup menggelitik adalah terciptanya sebuah kawasan yang bercampur aduk antara pemanfaatan bagi hunian, pendidikan dan k

omersial berskala regional. Pertanyaannya adalah mau dibawa kemana warga dan siswa-siswa yang sedang menuntut ilmu di kompleks sekolah dan kampus depan Matos ini.

Contoh lain dari pengaruh arsitektur sebagai sebuah produk adalah munculnya image kumuh dan tidak terawat pada fasilitas-fasilitas umum seperti pasar tradisional, sekolah negeri dan lain sebagainya yang membuat masyarakat merasa tidaknyaman, minder dan tidak aman dalam mempergunakan fasilitas-fasilitas ini. Bandingkan dengan fasilitas-fasilitas yag dikelola oleh swasta yang selalu berusaha memberi kesan mewah dan berkelas. Agaknya arsitektur benar-benar mampu memberi daya tarik untuk memenuhi tujuan komersial dan hal ini berdampak pada marginalisasi kelompok ekonomi lemah (tradisional).


Gambar 2. Perbandingan Pasar Tradisional dan Pasar Modern Sebagai Produk Arsitektural

Sumber : berbagai sumber internet


Gambar di atas memperlihatkan betapa kesenjangan dapat terjadi saat arsitektur mengambil posisi dengan hanya berpihak pada golongan kuat yang selanjutnya berdampak pada tetap melemahnya ekonomi kerakyatan dan terjadinya segregasi masyarakat.


3. Aspek Sosial Budaya

Aspek sosial budaya dapat disebut sebagai jiwa dari suatu kawasan perkotaan atau wilayah. Dari jiwa ini kemudian terpancar keluar citra. Profesor Eko Budihardjo (1993) menyebutkan bahwa kota merupakan cerminan budaya masyarakatnya. Jadi, aspek sosial budaya ini memiliki cakupan yang sangat luas dan mendalam karena mengarah langsung pada kondisi dan kepribadian masyarakat dan pimpinan daerah.

Secara teknis, aspek sosial budaya ini berkaitan dengan kondisi demografi dan kualitas pembangunan manusia yang dinyatakan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan mempergunakan beberapa variabel seperti angka melek huruf, angka harapan hidup, kesehatan dan lain sebagainya serta fluktuasi perpindahan penduduk. Pada kenyataannya, variabel-variabel ini yang paling sering dipergunakan dalam perencanaan tata ruang karena dikatakan lebih terukur (kuantitatif). Meskipun begitu sesungguhnya variabel kualitatif memegang peranan yang tidak kalah penting. Variabel ini berupa aspek budaya yang mencakup adat istiadat, skema sejarah dan pembentukan citra kawasan. Abidin Kusno (2009) menguraikan dengan cerdas bahwa dalam tataran ruang publik, arsitektur berperan langsung dalam proses memori masyarakat. Dengan proses memori ini, masyarakat memiliki identitas dan memori ini dapat menuntun masyarakat menuju masa depan yang lebih baik melalui pembentukan simbol-simbol kawasan.

Dalam wacana arsitektur telah banyak didiskusikan mengenai peranan arsitektur dalam pembentukan citra kawasan wilayah atau perkotaan dengan sederet preseden. Contoh yang tidak perlu ditiru misalnya, Musium Guggenheim yang dirancang oleh Frank Gehry di Kota Bilbao Spanyol. Musium ini dikatakan merupakan perwujudan maha karya seni kontemporer, tetapi mengalami penolakan dari masyarakat karena dinilai merusak citra/keindahan kota. Pada akhirnya bangunan ini mengalami vandalisme.

Gambar 3. Musium Guggenheim di Kota Bilbao


Prof. Eko Budihardjo (1993) menegaskan bahwa dalam praktek perencanaan kota telah terjadi pelecehan budaya dalam wujud penggusuran dan pembongkaran bangunan-bangunan kuno bersejarah yang kemudian berdampak pada lenyapnya jati diri bangsa. Kenyataan seperti ini dapat disimak dalam pertumbuhan kawasan Jalan Ijen Kota Malang yang sesungguhnya sudah dilindungi oleh Perda mengenai pelestarian kawasan bersejarah tetapi pada pelaksanaannya terjadi penguasaan secara pribadi yang berakibat pada penghancuran bangunan kuno digantikan oleh rumah-rumah mewah tipe istana. Sungguh miris apabila mengetahui bahwa negara-negara maju sedang menggalakkan pelestarian budaya perkotaan sementara bangsa kita yang sesungguhnya memiliki potensi besar justru melakukan penghancuran citra dan memori kolektif perkotaan. Uraian ini hanyalah sebagian kecil contoh dari kenyataan yang ada di masyarakat kita.


III. Multi Dimensi Arsitektur Dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pembahasan di atas telah banyak menjelaskan bahwa betapa arsitektur tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek eksternal seperti lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Arsitektur sebagai konsep lingkungan binaan harus dipahami secara utuh dan setimbang. Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, kegagalan dalam mempertimbangkan aspek lingkungan akan mengakibatkan kerusakan alam, kegagalan mempertimbangkan aspek ekonomi akan mengakibatkan segregasi masyarakat dan ketimpangan ekonomi, kegagalan dalam mempertimbangkan aspek sosial budaya akan mengakibatkan hilangnya jatidiri bangsa. Aspek-aspek yang selama ini sepertinya berada di ranah planologi ternyata cocok diterapkan secara lebih dalam pada lingkungan arsitektur

Arsitektur sebagai suatu proses pengambilan keputusan dan produk harus dijalankan secara kontinu, artinya selalu ada evaluasi dan perbaikan yang tentunya harus didukung oleh political will yang baik dari pengembil kebijakan. Dalam hal ini, arsitek menempati posisi sebagai stake holder yang cukup penting sebagai seorang profesional yang memiliki visi sebagai agen perbaikan.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjembatani pemikiran arsitektur dengan aspek-aspek terapan planologis, antara lain :

· Mempertemukan stake holder arsitektur dan planologi dalam forum diskusi praktis. Pertemuan dalam konteks akademis sudah cukup sering terjadi di lingkungan universitas.

· Merumuskan konsep arsitektur yang visioner, artinya konsep arsitektur yang mengarah pada perbaikan lingkungan binaan dengan memperhatikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan.

· Pembinaan pada tingkat mahasiswa dengan menerapkan studi-studi kasus arsitektur pada tingkat perkotaan.

· Membentengi masyarakat dan generasi muda akan biasnya pemahaman estetika dan kebudayaan global terkait praktek konsumerisme dan penghancuran identitas bangsa.

· Meningkatkan pembinaan mengenai kelestarian lingkungan, sejarah dan budaya pada siswa-siswa pendidikan dasar dan menengah.

Keberhasilan dari konsep ini tentu tidak terlepas dari dukungan segenap bangsa yang meliputi masyarakat luas, mahasiswa, pendidik, praktisi dan pengambil kebijakan dalam memutuskan yang terbaik bagi pembangunan bangsa.


Kepustakaan

Surjono. 2009. Konsep Penataan Ruang yang Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Modul Pelatihan Tenaga Ahli Perencanaan Sumber Daya Air Berbasis Tata Ruang di Malang. 10-15 Agustus 2009.

Budihardjo dan Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni Bandung.

Abidin Kusno. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif : Jakarta Pasca-Suharto. Penerbit Ombak Yogyakarta.


Kredit

Terimakasih pada Prof. Antariksa, DR. Galih Widjil Pangarsa dan DR. Surjono yang telah menginspirasi

pemikiran pada makalah ini.



4 komentar:

  1. aspek lingkungan
    menurut saya, tata guna lahan ini adalah satu aspek yang sangat dinamis, dimana bisa sangat menyesuaikan dengan skala prioritas kebutuhan suatu kota.
    peran arsitektur mikro adalah bagaimana membuat bangunan yang mampu menggantikan fungsi yang seharusnya.
    pembangunan Mall malangtownsquare bukan suatu kesalahan.. jika si arsitek cerdas, bagaimana membuat sebuah desain bangunan yang tidak mengurangi fungsi kawasan sebagai area penyerapan. sangat banyak alternatif yang bisa di gunakan.

    sebenarnya planologi adalah bagian dari arsitektur.

    multidimensi planning is a must...

    BalasHapus
  2. Dear Moka..
    Kedinamisan Tata Guna Lahan perlu dipahami sebagai suatu bidang yang kompleks mencakup keterkaitannya dengan daya dukung lahan, sosial ekonomi, budaya dan karena di atasnya menampung aktivitas, maka integritas sistem transportasi menjadi konsekuensinya..
    Saya sependapat bahwa arsitektur sesungguhnya adalah ilmu tentang solusi, seharusnya banyak permasalahan lingkungan bisa diselesaikan dgn ide2 arsitektural, tinggal bagaimana visi si arsiteknya.

    BalasHapus
  3. Teruslah berkarya sumbangkan pemikiran untuk pengembangan keilmuan, dan untuk kemaslahatan umat manusia di atas bumi ini. Di sini arsitektur mempunyai peran dan tanggung jawab sangat besar.

    BalasHapus
  4. Dear Bapak Antarksa...
    Ya Pak, semoga tulisan ini bisa berguna dan dikembangkan lebih baik serta kita bisa mengembangkan konsep pemahaman yang menyeluruh mengenai lingkungan binaan.

    BalasHapus