Minggu, 10 Mei 2009

PERENCANAAN PARTISIPATIF TATA GUNA LAHAN PEDESAAN

Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan khususnya di pedesaan tidak terlepas dari ketepatan penetapan TGL. Ketepatan penetapan TGL ini dipengaruhi oleh tingkat penguasaan perencana terhadap potensi yang dimiliki daerah tersebut beserta aspek-aspek dinamisnya.

Desa sebagai kesatuan wilayah terkecil memiliki karakteristik yang lebih organik jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Keorganikan wilayah pedesaan ini antara lain disebabkan oleh kekhasan potensi alam tiap daerah, sistem tata nilai masyarakat yang mempengaruhi kehidupan sosial dan penataan lingkungan, tingginya pemahaman warga atas seluk beluk wilayah dan kedekatan masyarakat secara emosional terhadap wilayahnya. Sifat organik dari wilayah pedesaan ini menyebabkan pola TGL cenderung bersifat dinamis dan bergerak mengikuti pola kehidupan masyarakatnya. Agar sifat ini dapat terakomodasi dengan baik, peran serta masyarakat setempat dalam perumusan TGL sangat diperlukan yang kemudian disebut sebagai perencanaan partisipatif.

Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menguraikan secara teoritis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan TGL pedesaan. Agar penjelasan dapat lebih mudah dipahami, artikel ini juga memuat contoh kasus dari penerapan perencanaan partisipatif dalam perencanaan TGL pedesaan.


Pembahasan pada artikel ini diawali dengan penguraian teori-teori umum mengenai perencanaan dan tata guna lahan. Selanjutnya diuraikan juga mengenai perencanaan tata guna lahan di pedesaan Indonesia yang kemudian diperjelas melalui sebuah contoh kasus. Kesimpulan diuraikan pada akhir penulisan untuk mengkaitkan antara teori-teori umum dan kenyataan pelaksanaan di pedesaan Indonesia untuk memahami kebutuhan metode perencanaan tata guna lahan di pedesaan Indonesia.

Perencanaan dan Tata Guna Lahan

Penetapan Tata Guna Lahan (untuk seterusnya akan disebut TGL) tidak dapat dilepaskan dari aspek perencanaan itu sendiri karena perencanaan merupakan proses dari pembuatan kebijakan sebelum diaplikasikan pada wilayah khususnya pedesaan.


Roberts (1986) menguraikan pendapat Dror yang mengemukakan bahwa perencanaan dapat dijelaskan dalam beberapa penekanan :

  • Pengambilan keputusan bagi pelaksanaan kegiatan pada masa yang akan datang.

  • Sebagai sebuah usaha dengan menempatkan nilai yang tinggi bagi rasionalisasi dan utilisasi (kegunaan) ilmu pengetahuan.

  • Usaha untuk mencapai kebutuhan sosial dan kepentingan umum

  • Usaha untuk membuat cetak biru atas masa depan.

  • Sebagai persamaan arti bagi manajemen.

Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa perencanaan adalah kumpulan dari prosedur (Davidoff&Reiner, 1962), usaha untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan (Gaus, 1951)

Perencanan memiliki beberapa atribut yang membuat perencanaan memjadi suatu proses yang sangat penting dalam penetapan kebijakan. Beberapa atribut perencanaan tersebut antara lain :

  1. Sebuah proses yang berkesinambungan dan sedang berjalan. Lingkungan selalu berubah, demikian juga dengan perubahan tata nilai, meluasnya pengetahuan, serta perubahan pemahaman atas fungsi lingkungan. Hal ini membutuhkan perbaikan yang terus menerus atas tujuan, penggalian sumber-sumber daya, yang kemudian akan memberi pengetahuan baru. Pada akhirnya, diperlukan evaluasi lebih lanjut atas informasi dan modifikasi rencana.

  2. Meliputi persiapan atas rencana alternatif, kebijakan dan tindakan. Hal in bisa merupakan rencana yang sangat umum, sangat spesifik atau di antaranya. Pengembangan dari rencana/kebijakan/tindakan merupakan hal yang penting dalam perencanaan.

  3. Berorientasi pada masa depan. Biasanya perencanaan selalu memperhatikan trend pada masa lalu dan kegiatan-kegiatan yang pernah terjadi serta meliputi pemahaman atas bagaimana bermacam-macam sistem berfungsi, akan tetapi semua hal ini harus diarahkan bagi perwujudan masa depan.

  4. Bertujuan untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu.

  5. Menempatkan nilai yang tinggi pada pendekatan rasional dalam mencapai rencana/kebijakan/tindakan. Perencanaan harus bersifat logis, objektif dan beralasan dimana informasi dan ilmu pengetahuan digabungkan secara sistematis, dianalisa dan diintegrasikan.

  6. Perencanaan berarti menghubungkan segala sesuatu. Hal ini cukup dipahami bahwa tindakan-tindakan yang diajukan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.


Ke-enam atribut di atas menjadi panduan bagi penetapan strategi perencanaan yang kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Roberts (1986) menguraikan beberapa tujuan umum yang hendak dicapai dalam perencanaan TGL antara lain :

  • Livability

TGL dibuat untuk mengarahkan pemanfaatan lahan yang secara spasial dapat dihuni oleh manusia dan bermanfaat bagi kehidupannya.

  • Efficiency.

Pemanfaatan lahan ini harus diusahakan seefisien mungkin agar tidak terjadi kerusakan alam.

  • Amenity.

TGL bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat yang menghuninya.

  • Flexibility and Choices.

Karena kehidupan masyarakat bersifat dinamis, TGL harus mengakomodasi kemungkinan perubahan di masa yang akan datang disertai beberapa pilihan solusi agar aplikasi dan hasilnya lebih tepat guna.

  • Minimum Harm to Natural Communities of Plants and Animals, Optimum Use of Resources.

TGL juga bertujuan untuk menata lingkungan sedemikian rupa untuk menjaga kelestarian dan keutuhan ekosistem agar pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan.

  • Public Involvements in Planning Process (Woodbury, 1966)

Agar TGL dapat tepat guna, masyarakat harus berperan aktif dalam proses perencanaan, penerapan dan pengawasan TGL yang kemudian akan disebut sebagi perencanaan partisipatif.


Dalam penyusunan TGL, diperlukan analisa yang komprehensif mengenai unsur-unsur pembentuk komunitas dan lingkungan alam yang mewadahinya. Pengenalan yang baik akan unsur-unsur ini akan menentukan tingkat keakuratan produk TGL. Roberts (1986) menguraikan unsur-unsur ini antara lain :

  • Populasi, teknik analisanya antara lain : population pyramid, cohort survival projection, straight line projection, rate of change projections.

  • Ekonomi, teknik analisanya antara lain : economis base techniques (basic and non basic industries), income product or social product accounts, input-out put studies, approximation analysis, industrial complex analysis, mathematical models.

  • Udara dan Iklim. Meliputi penguapan, kelembapan, suhu, pergerakan udara, musim, lokasi pusat pengamatan cuaca dan kualitas udara.

  • Topografi. Meliputi wujud permukaan, struktur/ orientasi elevasi pegunungan atau lembah, wujud bukaan sungai, ngarai dan slope.

  • Geologi dan Tanah. Meliputi kekhasan geologis, nilai rekreatif permukaan bumi, hidrologi, meterial, drainse, Ph, kedalaman, struktur, tekstur, unsur hara, produktifitas tanah, unsur terlarut dalam tanah, dan manajemen lingkungan.

  • Vegetasi. Meliputi tipe dan sub tipe vegetasi, area dan lokasi.

  • Sumber air. Meliputi pola drainase, aliran air/sungai/danau, pembangunan keairan dan pengendalian struktur, bukaan permukaan air, air tanah, daerah limpasan air, daerah tangkapan air, dan simpanan air tanah.

  • Hewan Liar Lokal. Meliputi distribusi dan konsentrasi.

  • Api. Meliputi ukuran/penyebab/ lokasi, kebiasaan, daerah rawan kebakaran.

  • Faktor-Faktor yang Membatasi Penggunaan Sumber Daya. Meliputi vegetasi, tanah, kemungkinan erosi, kemungkinan banjir, ketidakstabilan tanah, daerah yang berbahaya sebagai akibat aktifitas manusia seperti penambangan atau berbahaya karena dihuni hewan/serangga/tumbuhan beracun, daerah yang terganggu oleh suara yang tidak nyaman seperti daerah pelatihan militer.

  • Pembangunan, Fasilitas dan Jasa. Meliputi : kegiatan pemeliharaan lahan, fasilitas aksesbilitas dan transportasi, areal tangkapan fotografi.

Hasil analisa dari unsur-unsur diatas kemudian diolah dan dikembangkan menjadi TGL dalam bentuk peta zonasi penggunaan lahan. Oleh karena itu, proses perencanaan TGL tidak dapat dipisahkan dari kegiatan tracing (penelusuran potensi lahan) dan mapping (pembuatan peta sebagai hasil perencanaan).

Perencanaan Tata Guna Lahan Pedesaan

Pemanfaatan lahan pedesaan tidak terlepas dari tujuan dan ruang lingkup pembangunan pedesaan itu sendiri. Adisasmita (2006) menguraikan bahwa tujuan pembangunan pedesaan dapat dibedakan menjadi pembangunan jangka panjang, pembangunan jangka pendek dan pembangunan secara spasial. Dalam uraian tujuan pembangunan ini sudah mencakup ruang lingkup pembangunan pedesaan yang apabila dicermati terdapat beberapa bagian penting yang membutuhkan keterlibatan masyarakat setempat. Bagian penting keterlibatan masyarakat ini antara lain berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kebutuhan akan sarana dan prasarana pedesaan serta unsur-unsur kelembagaan masyarakat.

Nasution A.I. (2008) berpendapat bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai wilayahnya sendiri sehingga keterlibatan masyarakat sangat diperlukan. Salah satu kegiatan dalam perencanaan TGL adalah tracking dan mapping. Dalam hal ini masyarakat memiliki kemampuan untuk membuat peta yang lengap dan akurat mengenai sejarah desa, aturan penggunaan lahan, analisa kecenderungan, kalender musim, masalah kesehatan lingkungan dan sudah tentu harapan-harapan masyarakat yang bersangkutan di masa yang akan datang.

Kemampuan masyarakat dalam pelaksanaan proses perencanaan TGL di atas cukup dikenal sebagai Perencanaan Partisipatif yang secara umum memiliki tujuan pemberdayaan, peningkatan kapasitas, terwujudnya efektivitas dan efisiensi, dan menciptakan dorongan andil masyarakat dalam pembiayaan. Peningkatan kapasitas berorientasi kepada pertumbuhan kondisi dimana masyarakat dapat belajar sambil bekerja untuk dirinya sendiri.

Dalam konteks pemetaan wilayah sebagai bagian dari proses perencanaan TGL, pemetaan secara partisipatif merupakan satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan wilayahnya sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Pemetaan secara partisipatif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasinya, baik potensi maupun permasalahannya.


Sudah tentu, dalam kegiatan ini masyarakat tidak dapat dibiarkan bekerja sendiri. Adisasmita (2006) mengemukakan suatu konsep pendampingan yang dilakukan oleh PPAM (Peningkatan Partisipasi Anggota Masyarakat) yang kegiatannya meliputi sosialisasi, pendampingan, pelatihan, penguatan kelembagaan dan implementasi program/proyek (p.42). PPAM ini lebih lanjut mendorong pemuka masyarakat dan pemerintah untuk membantu kelompok strategis masyarakat dalam mengambil keputusan dan membangkitkan pemahaman, motivasi dan kerjasama. PPAM dapat membentuk tim fasilitator yang bertugas sebagai pendamping masyarakat dalam keseluruhan tahapan perencanan.

Pembangunan pedesaan sering tidak dapat dilepaskan dari pengembangan sektor pertanian. Notohadiprawiro (2006) mengemukakan bahwa pertanian terbentuk secara tersebar luas dan menyatu dengan lingkungan alam sehingga menjadi bagian dari kehidupan pedesaan. Hal ini mengakibatkan program-program pertanian selalu bermakna bagi program-program pedesaan. Apabila pembangunan pertanian terarah, maka kesejahteraan pedesaan akan meningkat.


Contoh Kasus Konsep Tata Guna LahanDesa Kesepakatan (TGLDK)

Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan adalah suatu model proyek yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dan Kabupaten Sanggau. Dalam proyek ini, dilakukan penekanan terhadap pemberdayaan masyarakat dalam perencanan TGL desa dan pemanfaatan hutan.

Dalam proyek ini terdapat konsep Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan (TGLDK) yang menyebutkan bahwa TGLDK adalah hasil perencanaan tata guna lahan secara partisipatif yang merupakan prodk hukum dimana masyarakat menyepakati secara partisipatif fungsi lahan dan pengembangan wilayah desa dan pemerintah mengakui hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lahan.

Alasan dari pemberdayaan TGLDK ini antara lain untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penggunaan pemanfaatan lahan, pemberian jaminan dari pemerintah atas hak dan kewajiban serta sanksi penggunaan lahan dimana masyarakat dibina untuk terlibat dan mengakui perencanaan lahan. Dari alasan pemberdayaan TGLDK ini tercermin usaha untuk meningkatkan konsistensi dalam pelaksanaan dan pengawasan implementasi TGL antara stakeholder yang paling dominan yaitu pemerintah dan masyarakat. Hal ini sangat penting guna menghindari konflik seperti belakangan sering terjadi berkaitan dengan penguasaan lahan.


TGLDK ini sama sekali tidak terlepas dari tujuan pembangunan pedesaan dan dokumen-dokumen perencanaan daerah lainnya. Hal ini dapat dicermati melalui penetapan fungsi dan tujuan TGLDK antara lain berfungsi untuk menjamin pemanfaatan lahan pedesaan, menjamin keamana penggunaan lahan desa dan bertindak sebagai pedoman pembangunan desa. Tujuan dari TGLDK ini antara lain menyusun suatu kesepakatan penggunaan lahan desa, penjabaran RTRWK ke dalam penggunaan lahan desa yang lebih rinci dan menciptakan harmonisasi dalam pembangunan.

Dari uraian di atas dapat dicermati adanya kesinambungan antara perencanaan yang bersifat formal-normatif melalui jalur birokrasi pemerintahan ke arah perencanaan yang lebih bersifat merakyat melalui perencanan partisipatif. Legalitas dari perencanaan ini juga didukung oleh pemerintah daerah melalui pengesahan oleh Bupati dan adanya pemantauan serta pengendalian oleh instansi terkait. Dalam keseluruhan proses perencanaan dan implementasi TGLDK, masyarakat juga diikutsertakan serta dibina agar dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab akan pertumbuhan daerahnya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, potensi dan kearifan lokal yang dimiliki daerah tersebut.














Seperti telah diuraikan di atas, Roberts (1986) salah satunya menekankan pada pentingnya keterlibatan publik pada proses perencanaan yang sungguh beralasan karena publik (masyarakat) memiliki penguasaan yang tinggi akan potensi daerahnya baik potensi alami maupun yang berkenaan dengan aspek demografi dan ekonomi. Peran serta pemerintah dalam hal ini juga sangat penting sebagai penetap regulasi dan pemegang anggaran utama serta pelindung atas keputusan yang telah ditetapkan.

Kerjasama yang solid antara stakeholder dan kedekatan yang erat antara subjek dan objek perencanaan TGL mampu menciptakan produk TGL yang berkesinambungan dalam menghadapi dinamika dalam masyarakat desa. Masyarakat sebagai subjek dan pengguna dapat dengan cepat melakukan monitoring dan evaluasi yang dilanjutkan dengan kegiatan pemuktahiran TGL seperlunya dengan dibimbing oleh instansi terkait.

Pertanian merupakan salah satu contoh penting dari pemanfaatan lahan pedesaan. Sampai saat ini, kawasan pedesaan masihsering diidentikkan sebagai pusat kegiatan bercocok tanam. Meskipun disebut sebagai pusat kegiatan pertanian, ternyata kesejahteraan para petani masih tergolong rendah. Rendahnya kesejahteraan ini ternyata bisa dikaitkan dengan rendahnya penguasaan lahan oleh para petani (Saptana et al.). Dalam penelitiannya, Saptana et al menemukan bahwa krisis multidimensi berkepanjangan yang pernah terjadi di pedesaan disebabkan oleh meningkatnya kesenjangan distribusi penguasaan lahan, kurang terencananya penataan lahan serta memudarnya institusi lokal dalampengaturan akses dan kontrol terhadap sumber daya lahan. Lebih mendalam ditemukan pula dalam masyarakat pedesaan bahwa sektor pertanian menyumbangkan nilai sebesar 54,30% - 85,57% dari total pendapatan rumah tangga. Dari angka ini dapat dipahami bahwa TGLDK memegang peranan secara langsung dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui penatagunaan lahan yang baik, akses masyarakat terhadap sumber daya lahan dapat meningkat, kepastian hukum dapat terjamin dan optimalisasi penggunaan lahan dapat meningkat melalui optimalisasi pengusahannya


Kesimpulan dan Penutup


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya kinerja yang sinergis dan kemitraan antara stakeholder Tata Guna Lahan Pedesaan yaitu Masyarakat, Pemerintah dan LSM. Paradigma yang memandang masyarakat sebagai bagian dari objek perencanaan harus diubah sebab telah terbukti bahwa masyarakat juga memiliki kemampuan untuk menelusuri permasalahan, merumuskan solusi dan mengambil keputusan. Pemerintah harus mendukung dengan fungsi regulasinya dibantu LSM yang banyak berperan sebagai mediator.

Kemampuan masyarakat dalam memahami lingkungannya tidak dapat diragukan karena adanya hubungan yang erat antara masyarakat pedesaan (manusia yang dipenuhi oleh kearifan lokal) dengan lingkungan. Sesungguhnya masyarakat tradisional Indonesia telah memiliki teladan dalam hal penataan dan pemanfaatan lahan antara lain pada penatagunaan lahan Suku Dayak yang menjalankan penataan dengan sistem kebinuaan dimana ada tujuh komponen (Saptana, et al.), yaitu : (1) kawasan hutan yang dilindungi dan dicadangkan bagi masa depan, (2) tanah yang ditanami pohon dan buah-buahan, (3) tanah yang ditanami pohon karet, kopi, lada, kakao dan tanaman keras lainnya, (4) tanah pertanian yang sedang digunakan dan yang sedang diistirahatkan atau pola usaha tani gilir balik, (5) tanah pekuburan dan tanah keramat, tanah perkampungan, (7) sungai dan danau untuk perikanan.


Ada banyak konsep mengenai perencanaan tata guna lahan khususnya pedesaan. Dari sekian banyak konsep tersebut yang tetap terpenting adalah pemberdayaan masyarakat sebagai subjek melalui kegiatan pastisipatif.

Kepustakaan


Adisasmita. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Graha Ilmu. Yogyakarta.


.............. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif dan Proses Pengembangan PHOM dan PHA.

http://www.dephut.go.id/halaman/PDF/poster_SFDP/Poster_2.pdf


Nasution, A.I. 2008. Pemetaan Desa Secara Partisipatif.

http://karstaceh.com/entrance/pemetaan-desa-secara-partisipatif-2


Roberts. 1986. Principles of Land Use Planning, dalam Beatty et al. Planning The Uses And Management of Land. Agronomy no. 21. America Society of Agronomy, Inc., Crop Science Society of America, Inc., Soil Science Society of America,Inc. USA. h.48-51.


Saptana, et al. Penatagunaan Lahan, Implikasinya Terhadap Pendapatan Petani. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr254034.pdf









Tidak ada komentar:

Posting Komentar