Selasa, 18 Agustus 2009

KONTEKSTUALITAS ARSITEKTUR SEBAGAI KEBUTUHAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

I. Arsitektur Sebagai Agen Pembangunan Berkelanjutan

1. Pembangunan berkelanjutan

Hakekat dari pembangunan adalah suatu proses yang secara terus menerus atau berkesinambungan menuju kesejahteraan umat manusia. Dalam hal ini, manusia menjadi sentral dari konsep pembangunan dimana dalam sentralitas ini, diperlukan keseimbangan dalam pengelolaan aspek-aspek pembangunan. Tanpa keseimbangan ini, perjalanan pembangunan akan tersendat dan terputus yang pada akhirnya mendatangkan kesengsaraan umat manusia itu sendiri seperti pada saat ini sudah terjadi.

Sejalan dengan pemikiran ini, konsep pembangunan berkelanjutan yang akhir-akhir ini diusung sebagai solusi permasalahan lingkunan dan sosial. Berdasarkan laporan Brundtland dalam World Commission of Environment and Development (WCED), 1987, pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) memiliki pengertian sebagai berikut :

Development which meets the needsof the current generation without compromising the ability of future generations to meet their own needs.

Kemudian Surjono (2009) menanggapi pengertian ini dengan mengemukakan bahwa kelangsungan sumber daya alam merupakan kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan dimana terjadi keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan daya dukung alam/lingkungan. Dalam mendukung keseimbangan ini, pembangunan berkelanjutan harus didukung oleh aspek pilar yaitu aspek sosial budaya, ekonomi dan lingkungan. Dari pemahaman ini, dapat dimengerti bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan ranah multidisiplin yang harus dijalankan secara terintegrasi.


Skema 1. Ketiga Aspek Pembangunan Pembangunan Berkelanjutan


2. Peran arsitektur dalam pembangunan berkelanjutan

Secara umum, proses pembangunan dalam beberapa tahap besar, yaitu proses perencanaan, pelaksanaan, kemudian termanifestasi dalam hasil pembangunan serta monitoring/evaluasi dan umpan balik. Proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan umpan balik terkait dengan pengambilan keputusan dimana dalam perencanaan dilakukan pengambilan keputusan mengenai program dan strategi pembangunan yang akan dijalankan, pada tahap pelaksanaan dilakukan pengambilan keputusan mengenai manajerial proses pengadaan fisik, monitoring/evaluasi dan umpan balik terkait pengambilan keputusan mengenai dampak dan pengembangan program/strategi sebelumnya. Pada akhirnya, seluruh tahapan ini mengarah pada hasil sebagai produk pembangunan. Produk inilah yang kemudian berpengaruh pada lingkungan binaan dan manusia yang kemudian menentukan kualitas pembangunan tersebut.


Skema 2. Aspek Pengambilan Keputusan dan Aspek Produk Kegiatan Pembangunan


Arsitektur dalam hal ini memberi kontribusi dengan dua aspek utamanya yaitu arsitektur sebagai proses dan arsitektur sebagai produk. Sebagai sebuah proses, arsitektur merupakan bentuk pengambilan keputusan yang melibatkan pemikiran atau konsep multidimensi yang meliputi sosial budaya, alam, ekonomi, politik dan teknik konstruksi/teknologi untuk mewujudkan lingkungan binaan yang berkualitas bagi kehidupan manusia. Sebagai produk, arsitektur memanifestasikan keputusan dalam ruang dengan segala nilai dan fungsinya. Ruang ini yang kemudian berinteraksi pada manusia dan satu sama lain akan saling mempengaruhi. Apabila pengaruh ini harmonis akan tercipta lingkungan yang setimbang dengan masyarakat yang makmur dan lingkungan yang lestari sementara apabila tidak setimbang, maka ada salah satu pihak yang dirugikan/rusak dan pada akhirnya manusia juga yang akan sengsara.

Skema 3. Aspek Pengambilan Keputusan dan Aspek Produk Arsitektur


Dalam pembangunan lingkungan secara luas, arsitektur sering mengambil posisi di tingkat mikro yang kemudian menyebar dan pada akhirnya menguasai ranah ruang secara kewilayahan. Dalam proses pembangunan sebuah kota, komplek pertokoan, perkantoran dan perumahan di desain serta dibangun secara terpisah dengan segala penataan lansekapnya yang kemudian objek-objek ini bersatu dalam bentukan ruang terbuka atau koridor jalan mewujudkan suatu lingkungan binaan. Bentukan lingkungan binaan ini kemudian dalam proses yang kompleks mempengaruhi ketiga aspek pembangunan berkelanjutan di atas. Bisa dibayangkan bahwa ternyata pengambilan keputusan mikro arsitektural yang dilakukan secara terpisah bisa membentuk suatu produk makro yang berdampak luas bagi kesetimbangan lingkungan dan manusia penghuninya.

Gambar 1. Gambaran Perwujudan Ruang Perkotaan Hasil Pengambilan Keputusan Arsitektural

Sumber : www.ecocity.com


II. Kontribusi Arsitektur Dalam Aspek-Aspek Pembangunan Berkelanjutan

1. Aspek Lingkungan

Dalam skala kawasan dan kewilayahan, pembangunan lingkungan fisik harus mengikuti pota tatanan tertentu dalam bentuk tata guna lahan (TGL). Dalam TGL ini terkandung semua informasi terkait pola pemanfaatan lahan dan perlindungan alam. Oleh karena ini, agar penatagunaan lahan memiliki dasar yang kuat, perencanaan harus dilakukan secara utuh berasaskan informasi lingkungan.

Sumber daya alam memiliki peranan yang sangat penting terkait kualitas kehidupan dan kualitas air. Surjono (2009) menguraikan bahwa kondisi alam mampu mendorong citra perkotaan dimana 39% masyarakat di negara maju menyebut taman kota, danau, sungai serta ruang terbuka sebagai fitur paling menarik dari suatu kota. Terkait dengan kualitas air, lingkungan alam memberikan free service seperti penyaringan air tanah, pegurangan run off dan penyimpan air tanah. Berikut ini diuraikan beberapa kegunaan ruang terbuka hijau bagi peningkatan kualitas kehidupan dan air perkotaan (Surjono, 2009) :

· Natural resource protection : perlindungan habitat, tanaman dan satwa serta air dan tanah.

· Working lands : menyediakan komoditas sumber daya alam yang menunjang perekonomian kota dan wilayah

· Outdoor recreation : memberi tempat rekreasi aktif dan asif termasuk taman, jalur hijau, lapangan olah raga, fitur keairan dan lain sebagainya.

· Public health and safetyPublic health and safety : melindungi warga dan properti dari bencana alam. Yang termasuk dengan aspek ini antara lain sumur resapan, kawasan resapan banjir, kelerengan yang tajam dan lain sebagainya.

· Community character : memberi masyarakat sense of identity dan sense of place yang meliputi kawasan bersejarah, pemandangan alam yang indah dan lain sebagainya.


Permasalahan kemudian terjadi saat terjadi kesalahan perencanaan atau perubahan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahannya. Ada banyak kasus yang melibatkan bangunan sebagai produk arsitektur dalam pengrusakan lingkungan perkotaan. Sungguh mengherankan apabila di Jalan Veteran Kota Malang terjadi banjir yang sampai menghambat lalu lintas dan menggenangi parkir basement Mall Malang Town Square (MATOS) sementara kira-kira kurang dari 300 meter ke arah utara terdapat Sungai Brantas yang siap menerima tampungan air. Hal ini tidak pernah terjadi saat kawasan Jalan Veteran masih memiliki ruang terbuka sebagai kawasan tangkapan air. Demikian juga dengan perubahan tata guna lahan kawasan sekitar Musium Brawijaya Kota Malang yang sebelumnya adalah kawasan resapan air menjadi kawasan perumahan mewah. Lebih lanjut pada tingkat kawasan dan kewilayahan, tata ruang perkotaan sebagai akumulasi dari produk arsitektur, memberi sumbangan besar pada penimbunan polusi udara yang disebut gas rumah kaca. Tata ruang yang semrawut mengurangi efisiensi transportasi yang kemudian meningkatkan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil.


2. Aspek Ekonomi.

Dalam makalahnya, Surjono (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sering mendominasi kebutuhan kelestarian lingkungan dan kebutuhan sosial masyarakatnya. Apabila dikaitkan dengan otonomi daerah, para pemerintah daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan ruang. Selain itu, permasalahan perekonomian wilayah juga dikaitkan dengan tingginya kesenjangan antar daerah.

Potensi ekonomi lokal kemudian menjadi tumpuan harapan setiap daerah dalam meningkatkan kemandirian daerah dan memeratakan kesejahteraan warganya. Potensi ekonomi lokal yang dinyatakan sebagai sektor basis ini dapat berupa industri kecil khas masyarakat, komoditas kerajinan bahan tambang maupun komoditas budidaya masyarakat. Kemandirian yang dipupuk dengan pengembangan sektor basis ini akan memeratakan pendapatan masyarakat sehingga pembangunan dapat berjalan secara lebih terkendali baik dalam hal pembangunan fisik maupun pemeliharaan lingkungan hidup.

Tantangan terbesar perekonomian kerakyatan di atas adalah jargon ekonomi global yang disebut sebagai kapitalisme. Kapitalisme ini hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan investor dengan hanya sedikit sekali (atau bahkan tidak ada) kontribusi bagi kas daerah. Hal ini sangat dimungkinkan karena sebagian besar investor berasal dari luar daerah (bahkan luar negeri) dimana mereka lebih suka menyimpan dana di bank internasional dan membelanjakan pendapatan di pasar global. Bisa dibayangkan dompet masyarakat akan terkuras keluar daerah sehingga perputaran dana/modal dalam daerah sangat kecil. Berikut ini dapat disimak skema pengurasan sumber daya ekonomi suatu wilayah perkotaan yang melibatkan mall sebagai alat ekonomi.

Skema 4. Pengurasan Sumber Daya Ekonomi Perkotaan


Seperti sudah diuraikan diatas, bahwa kapitalisme merupakan permasalahan pokok dalam aspek ekonomi pembangunan berkelanjutan. Sebagai sebuah ideology, kapitalisme dapat mempergunakan konsep pembangunan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Arsitektur merupakan salah satu alat yang sering dipergunakan baik dalam bentuk unit bangunan, ornamentasi perkotaan maupun lansekap.

Imperialisme ekonomi pertama sekali mempergunakan aspek pengambilan keputusan arsitektural untuk melayakkan suatu site bagi pembangunan fasilitas komersial tertentu. Sebagai contoh, site MATOS Malang pada awalnya adalah kompleks fasilitas pendidikan yang kaya akan pepohonan dan bangunan peninggalan kolonial Belanda. Pada masa Orde Baru, komleks fasilitas pendidikan ini diubah menjadi perumahan mewah yang kemudian terhenti (mangkrak). Setelah masa Reformasi muncul kembali niat untuk menghijaukan kembali kawasan ini yang digagalkan dengan pengubahan tata guna lahan sebagai kawasan komersial berskala regional (Malang Towan Square). Dari contoh ini, kebijakan atau kemauan politik (politcal willingness) memiliki kuasa yang sangat besar dalam mengubah arah proses pengambilan keputusan arsitetural.

Hasil dari pengambilan keputusan di atas adalah produk arsitektural berupa bangunan gedung pusat perbelanjaan one stop shopping yang menjadi magnet masyarakat Kota Malang dan sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan menumpukkan bus-bus wisata pada akhir pekan untuk mengantar pengunjung Matos dan kepadatan kendaraan bermotor disekitar Jalan Veteran. Dalam aspek lingkungan seperti sudah diuraikan di atas adalah timbulnya masalah banjir karena hilangnya kawasan resapan air. Hal lain yang cukup menggelitik adalah terciptanya sebuah kawasan yang bercampur aduk antara pemanfaatan bagi hunian, pendidikan dan k

omersial berskala regional. Pertanyaannya adalah mau dibawa kemana warga dan siswa-siswa yang sedang menuntut ilmu di kompleks sekolah dan kampus depan Matos ini.

Contoh lain dari pengaruh arsitektur sebagai sebuah produk adalah munculnya image kumuh dan tidak terawat pada fasilitas-fasilitas umum seperti pasar tradisional, sekolah negeri dan lain sebagainya yang membuat masyarakat merasa tidaknyaman, minder dan tidak aman dalam mempergunakan fasilitas-fasilitas ini. Bandingkan dengan fasilitas-fasilitas yag dikelola oleh swasta yang selalu berusaha memberi kesan mewah dan berkelas. Agaknya arsitektur benar-benar mampu memberi daya tarik untuk memenuhi tujuan komersial dan hal ini berdampak pada marginalisasi kelompok ekonomi lemah (tradisional).


Gambar 2. Perbandingan Pasar Tradisional dan Pasar Modern Sebagai Produk Arsitektural

Sumber : berbagai sumber internet


Gambar di atas memperlihatkan betapa kesenjangan dapat terjadi saat arsitektur mengambil posisi dengan hanya berpihak pada golongan kuat yang selanjutnya berdampak pada tetap melemahnya ekonomi kerakyatan dan terjadinya segregasi masyarakat.


3. Aspek Sosial Budaya

Aspek sosial budaya dapat disebut sebagai jiwa dari suatu kawasan perkotaan atau wilayah. Dari jiwa ini kemudian terpancar keluar citra. Profesor Eko Budihardjo (1993) menyebutkan bahwa kota merupakan cerminan budaya masyarakatnya. Jadi, aspek sosial budaya ini memiliki cakupan yang sangat luas dan mendalam karena mengarah langsung pada kondisi dan kepribadian masyarakat dan pimpinan daerah.

Secara teknis, aspek sosial budaya ini berkaitan dengan kondisi demografi dan kualitas pembangunan manusia yang dinyatakan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan mempergunakan beberapa variabel seperti angka melek huruf, angka harapan hidup, kesehatan dan lain sebagainya serta fluktuasi perpindahan penduduk. Pada kenyataannya, variabel-variabel ini yang paling sering dipergunakan dalam perencanaan tata ruang karena dikatakan lebih terukur (kuantitatif). Meskipun begitu sesungguhnya variabel kualitatif memegang peranan yang tidak kalah penting. Variabel ini berupa aspek budaya yang mencakup adat istiadat, skema sejarah dan pembentukan citra kawasan. Abidin Kusno (2009) menguraikan dengan cerdas bahwa dalam tataran ruang publik, arsitektur berperan langsung dalam proses memori masyarakat. Dengan proses memori ini, masyarakat memiliki identitas dan memori ini dapat menuntun masyarakat menuju masa depan yang lebih baik melalui pembentukan simbol-simbol kawasan.

Dalam wacana arsitektur telah banyak didiskusikan mengenai peranan arsitektur dalam pembentukan citra kawasan wilayah atau perkotaan dengan sederet preseden. Contoh yang tidak perlu ditiru misalnya, Musium Guggenheim yang dirancang oleh Frank Gehry di Kota Bilbao Spanyol. Musium ini dikatakan merupakan perwujudan maha karya seni kontemporer, tetapi mengalami penolakan dari masyarakat karena dinilai merusak citra/keindahan kota. Pada akhirnya bangunan ini mengalami vandalisme.

Gambar 3. Musium Guggenheim di Kota Bilbao


Prof. Eko Budihardjo (1993) menegaskan bahwa dalam praktek perencanaan kota telah terjadi pelecehan budaya dalam wujud penggusuran dan pembongkaran bangunan-bangunan kuno bersejarah yang kemudian berdampak pada lenyapnya jati diri bangsa. Kenyataan seperti ini dapat disimak dalam pertumbuhan kawasan Jalan Ijen Kota Malang yang sesungguhnya sudah dilindungi oleh Perda mengenai pelestarian kawasan bersejarah tetapi pada pelaksanaannya terjadi penguasaan secara pribadi yang berakibat pada penghancuran bangunan kuno digantikan oleh rumah-rumah mewah tipe istana. Sungguh miris apabila mengetahui bahwa negara-negara maju sedang menggalakkan pelestarian budaya perkotaan sementara bangsa kita yang sesungguhnya memiliki potensi besar justru melakukan penghancuran citra dan memori kolektif perkotaan. Uraian ini hanyalah sebagian kecil contoh dari kenyataan yang ada di masyarakat kita.


III. Multi Dimensi Arsitektur Dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pembahasan di atas telah banyak menjelaskan bahwa betapa arsitektur tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek eksternal seperti lingkungan, ekonomi dan sosial budaya. Arsitektur sebagai konsep lingkungan binaan harus dipahami secara utuh dan setimbang. Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, kegagalan dalam mempertimbangkan aspek lingkungan akan mengakibatkan kerusakan alam, kegagalan mempertimbangkan aspek ekonomi akan mengakibatkan segregasi masyarakat dan ketimpangan ekonomi, kegagalan dalam mempertimbangkan aspek sosial budaya akan mengakibatkan hilangnya jatidiri bangsa. Aspek-aspek yang selama ini sepertinya berada di ranah planologi ternyata cocok diterapkan secara lebih dalam pada lingkungan arsitektur

Arsitektur sebagai suatu proses pengambilan keputusan dan produk harus dijalankan secara kontinu, artinya selalu ada evaluasi dan perbaikan yang tentunya harus didukung oleh political will yang baik dari pengembil kebijakan. Dalam hal ini, arsitek menempati posisi sebagai stake holder yang cukup penting sebagai seorang profesional yang memiliki visi sebagai agen perbaikan.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menjembatani pemikiran arsitektur dengan aspek-aspek terapan planologis, antara lain :

· Mempertemukan stake holder arsitektur dan planologi dalam forum diskusi praktis. Pertemuan dalam konteks akademis sudah cukup sering terjadi di lingkungan universitas.

· Merumuskan konsep arsitektur yang visioner, artinya konsep arsitektur yang mengarah pada perbaikan lingkungan binaan dengan memperhatikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan.

· Pembinaan pada tingkat mahasiswa dengan menerapkan studi-studi kasus arsitektur pada tingkat perkotaan.

· Membentengi masyarakat dan generasi muda akan biasnya pemahaman estetika dan kebudayaan global terkait praktek konsumerisme dan penghancuran identitas bangsa.

· Meningkatkan pembinaan mengenai kelestarian lingkungan, sejarah dan budaya pada siswa-siswa pendidikan dasar dan menengah.

Keberhasilan dari konsep ini tentu tidak terlepas dari dukungan segenap bangsa yang meliputi masyarakat luas, mahasiswa, pendidik, praktisi dan pengambil kebijakan dalam memutuskan yang terbaik bagi pembangunan bangsa.


Kepustakaan

Surjono. 2009. Konsep Penataan Ruang yang Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam Modul Pelatihan Tenaga Ahli Perencanaan Sumber Daya Air Berbasis Tata Ruang di Malang. 10-15 Agustus 2009.

Budihardjo dan Hardjohubojo. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Penerbit Alumni Bandung.

Abidin Kusno. 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif : Jakarta Pasca-Suharto. Penerbit Ombak Yogyakarta.


Kredit

Terimakasih pada Prof. Antariksa, DR. Galih Widjil Pangarsa dan DR. Surjono yang telah menginspirasi

pemikiran pada makalah ini.



Minggu, 10 Mei 2009

PERENCANAAN PARTISIPATIF TATA GUNA LAHAN PEDESAAN

Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan khususnya di pedesaan tidak terlepas dari ketepatan penetapan TGL. Ketepatan penetapan TGL ini dipengaruhi oleh tingkat penguasaan perencana terhadap potensi yang dimiliki daerah tersebut beserta aspek-aspek dinamisnya.

Desa sebagai kesatuan wilayah terkecil memiliki karakteristik yang lebih organik jika dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Keorganikan wilayah pedesaan ini antara lain disebabkan oleh kekhasan potensi alam tiap daerah, sistem tata nilai masyarakat yang mempengaruhi kehidupan sosial dan penataan lingkungan, tingginya pemahaman warga atas seluk beluk wilayah dan kedekatan masyarakat secara emosional terhadap wilayahnya. Sifat organik dari wilayah pedesaan ini menyebabkan pola TGL cenderung bersifat dinamis dan bergerak mengikuti pola kehidupan masyarakatnya. Agar sifat ini dapat terakomodasi dengan baik, peran serta masyarakat setempat dalam perumusan TGL sangat diperlukan yang kemudian disebut sebagai perencanaan partisipatif.

Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menguraikan secara teoritis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perencanaan TGL pedesaan. Agar penjelasan dapat lebih mudah dipahami, artikel ini juga memuat contoh kasus dari penerapan perencanaan partisipatif dalam perencanaan TGL pedesaan.


Pembahasan pada artikel ini diawali dengan penguraian teori-teori umum mengenai perencanaan dan tata guna lahan. Selanjutnya diuraikan juga mengenai perencanaan tata guna lahan di pedesaan Indonesia yang kemudian diperjelas melalui sebuah contoh kasus. Kesimpulan diuraikan pada akhir penulisan untuk mengkaitkan antara teori-teori umum dan kenyataan pelaksanaan di pedesaan Indonesia untuk memahami kebutuhan metode perencanaan tata guna lahan di pedesaan Indonesia.

Perencanaan dan Tata Guna Lahan

Penetapan Tata Guna Lahan (untuk seterusnya akan disebut TGL) tidak dapat dilepaskan dari aspek perencanaan itu sendiri karena perencanaan merupakan proses dari pembuatan kebijakan sebelum diaplikasikan pada wilayah khususnya pedesaan.


Roberts (1986) menguraikan pendapat Dror yang mengemukakan bahwa perencanaan dapat dijelaskan dalam beberapa penekanan :

  • Pengambilan keputusan bagi pelaksanaan kegiatan pada masa yang akan datang.

  • Sebagai sebuah usaha dengan menempatkan nilai yang tinggi bagi rasionalisasi dan utilisasi (kegunaan) ilmu pengetahuan.

  • Usaha untuk mencapai kebutuhan sosial dan kepentingan umum

  • Usaha untuk membuat cetak biru atas masa depan.

  • Sebagai persamaan arti bagi manajemen.

Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa perencanaan adalah kumpulan dari prosedur (Davidoff&Reiner, 1962), usaha untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan (Gaus, 1951)

Perencanan memiliki beberapa atribut yang membuat perencanaan memjadi suatu proses yang sangat penting dalam penetapan kebijakan. Beberapa atribut perencanaan tersebut antara lain :

  1. Sebuah proses yang berkesinambungan dan sedang berjalan. Lingkungan selalu berubah, demikian juga dengan perubahan tata nilai, meluasnya pengetahuan, serta perubahan pemahaman atas fungsi lingkungan. Hal ini membutuhkan perbaikan yang terus menerus atas tujuan, penggalian sumber-sumber daya, yang kemudian akan memberi pengetahuan baru. Pada akhirnya, diperlukan evaluasi lebih lanjut atas informasi dan modifikasi rencana.

  2. Meliputi persiapan atas rencana alternatif, kebijakan dan tindakan. Hal in bisa merupakan rencana yang sangat umum, sangat spesifik atau di antaranya. Pengembangan dari rencana/kebijakan/tindakan merupakan hal yang penting dalam perencanaan.

  3. Berorientasi pada masa depan. Biasanya perencanaan selalu memperhatikan trend pada masa lalu dan kegiatan-kegiatan yang pernah terjadi serta meliputi pemahaman atas bagaimana bermacam-macam sistem berfungsi, akan tetapi semua hal ini harus diarahkan bagi perwujudan masa depan.

  4. Bertujuan untuk mencapai tujuan atau sasaran tertentu.

  5. Menempatkan nilai yang tinggi pada pendekatan rasional dalam mencapai rencana/kebijakan/tindakan. Perencanaan harus bersifat logis, objektif dan beralasan dimana informasi dan ilmu pengetahuan digabungkan secara sistematis, dianalisa dan diintegrasikan.

  6. Perencanaan berarti menghubungkan segala sesuatu. Hal ini cukup dipahami bahwa tindakan-tindakan yang diajukan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.


Ke-enam atribut di atas menjadi panduan bagi penetapan strategi perencanaan yang kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Roberts (1986) menguraikan beberapa tujuan umum yang hendak dicapai dalam perencanaan TGL antara lain :

  • Livability

TGL dibuat untuk mengarahkan pemanfaatan lahan yang secara spasial dapat dihuni oleh manusia dan bermanfaat bagi kehidupannya.

  • Efficiency.

Pemanfaatan lahan ini harus diusahakan seefisien mungkin agar tidak terjadi kerusakan alam.

  • Amenity.

TGL bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat yang menghuninya.

  • Flexibility and Choices.

Karena kehidupan masyarakat bersifat dinamis, TGL harus mengakomodasi kemungkinan perubahan di masa yang akan datang disertai beberapa pilihan solusi agar aplikasi dan hasilnya lebih tepat guna.

  • Minimum Harm to Natural Communities of Plants and Animals, Optimum Use of Resources.

TGL juga bertujuan untuk menata lingkungan sedemikian rupa untuk menjaga kelestarian dan keutuhan ekosistem agar pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan.

  • Public Involvements in Planning Process (Woodbury, 1966)

Agar TGL dapat tepat guna, masyarakat harus berperan aktif dalam proses perencanaan, penerapan dan pengawasan TGL yang kemudian akan disebut sebagi perencanaan partisipatif.


Dalam penyusunan TGL, diperlukan analisa yang komprehensif mengenai unsur-unsur pembentuk komunitas dan lingkungan alam yang mewadahinya. Pengenalan yang baik akan unsur-unsur ini akan menentukan tingkat keakuratan produk TGL. Roberts (1986) menguraikan unsur-unsur ini antara lain :

  • Populasi, teknik analisanya antara lain : population pyramid, cohort survival projection, straight line projection, rate of change projections.

  • Ekonomi, teknik analisanya antara lain : economis base techniques (basic and non basic industries), income product or social product accounts, input-out put studies, approximation analysis, industrial complex analysis, mathematical models.

  • Udara dan Iklim. Meliputi penguapan, kelembapan, suhu, pergerakan udara, musim, lokasi pusat pengamatan cuaca dan kualitas udara.

  • Topografi. Meliputi wujud permukaan, struktur/ orientasi elevasi pegunungan atau lembah, wujud bukaan sungai, ngarai dan slope.

  • Geologi dan Tanah. Meliputi kekhasan geologis, nilai rekreatif permukaan bumi, hidrologi, meterial, drainse, Ph, kedalaman, struktur, tekstur, unsur hara, produktifitas tanah, unsur terlarut dalam tanah, dan manajemen lingkungan.

  • Vegetasi. Meliputi tipe dan sub tipe vegetasi, area dan lokasi.

  • Sumber air. Meliputi pola drainase, aliran air/sungai/danau, pembangunan keairan dan pengendalian struktur, bukaan permukaan air, air tanah, daerah limpasan air, daerah tangkapan air, dan simpanan air tanah.

  • Hewan Liar Lokal. Meliputi distribusi dan konsentrasi.

  • Api. Meliputi ukuran/penyebab/ lokasi, kebiasaan, daerah rawan kebakaran.

  • Faktor-Faktor yang Membatasi Penggunaan Sumber Daya. Meliputi vegetasi, tanah, kemungkinan erosi, kemungkinan banjir, ketidakstabilan tanah, daerah yang berbahaya sebagai akibat aktifitas manusia seperti penambangan atau berbahaya karena dihuni hewan/serangga/tumbuhan beracun, daerah yang terganggu oleh suara yang tidak nyaman seperti daerah pelatihan militer.

  • Pembangunan, Fasilitas dan Jasa. Meliputi : kegiatan pemeliharaan lahan, fasilitas aksesbilitas dan transportasi, areal tangkapan fotografi.

Hasil analisa dari unsur-unsur diatas kemudian diolah dan dikembangkan menjadi TGL dalam bentuk peta zonasi penggunaan lahan. Oleh karena itu, proses perencanaan TGL tidak dapat dipisahkan dari kegiatan tracing (penelusuran potensi lahan) dan mapping (pembuatan peta sebagai hasil perencanaan).

Perencanaan Tata Guna Lahan Pedesaan

Pemanfaatan lahan pedesaan tidak terlepas dari tujuan dan ruang lingkup pembangunan pedesaan itu sendiri. Adisasmita (2006) menguraikan bahwa tujuan pembangunan pedesaan dapat dibedakan menjadi pembangunan jangka panjang, pembangunan jangka pendek dan pembangunan secara spasial. Dalam uraian tujuan pembangunan ini sudah mencakup ruang lingkup pembangunan pedesaan yang apabila dicermati terdapat beberapa bagian penting yang membutuhkan keterlibatan masyarakat setempat. Bagian penting keterlibatan masyarakat ini antara lain berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kebutuhan akan sarana dan prasarana pedesaan serta unsur-unsur kelembagaan masyarakat.

Nasution A.I. (2008) berpendapat bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai wilayahnya sendiri sehingga keterlibatan masyarakat sangat diperlukan. Salah satu kegiatan dalam perencanaan TGL adalah tracking dan mapping. Dalam hal ini masyarakat memiliki kemampuan untuk membuat peta yang lengap dan akurat mengenai sejarah desa, aturan penggunaan lahan, analisa kecenderungan, kalender musim, masalah kesehatan lingkungan dan sudah tentu harapan-harapan masyarakat yang bersangkutan di masa yang akan datang.

Kemampuan masyarakat dalam pelaksanaan proses perencanaan TGL di atas cukup dikenal sebagai Perencanaan Partisipatif yang secara umum memiliki tujuan pemberdayaan, peningkatan kapasitas, terwujudnya efektivitas dan efisiensi, dan menciptakan dorongan andil masyarakat dalam pembiayaan. Peningkatan kapasitas berorientasi kepada pertumbuhan kondisi dimana masyarakat dapat belajar sambil bekerja untuk dirinya sendiri.

Dalam konteks pemetaan wilayah sebagai bagian dari proses perencanaan TGL, pemetaan secara partisipatif merupakan satu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan wilayahnya sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri. Pemetaan secara partisipatif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasinya, baik potensi maupun permasalahannya.


Sudah tentu, dalam kegiatan ini masyarakat tidak dapat dibiarkan bekerja sendiri. Adisasmita (2006) mengemukakan suatu konsep pendampingan yang dilakukan oleh PPAM (Peningkatan Partisipasi Anggota Masyarakat) yang kegiatannya meliputi sosialisasi, pendampingan, pelatihan, penguatan kelembagaan dan implementasi program/proyek (p.42). PPAM ini lebih lanjut mendorong pemuka masyarakat dan pemerintah untuk membantu kelompok strategis masyarakat dalam mengambil keputusan dan membangkitkan pemahaman, motivasi dan kerjasama. PPAM dapat membentuk tim fasilitator yang bertugas sebagai pendamping masyarakat dalam keseluruhan tahapan perencanan.

Pembangunan pedesaan sering tidak dapat dilepaskan dari pengembangan sektor pertanian. Notohadiprawiro (2006) mengemukakan bahwa pertanian terbentuk secara tersebar luas dan menyatu dengan lingkungan alam sehingga menjadi bagian dari kehidupan pedesaan. Hal ini mengakibatkan program-program pertanian selalu bermakna bagi program-program pedesaan. Apabila pembangunan pertanian terarah, maka kesejahteraan pedesaan akan meningkat.


Contoh Kasus Konsep Tata Guna LahanDesa Kesepakatan (TGLDK)

Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan adalah suatu model proyek yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dan Kabupaten Sanggau. Dalam proyek ini, dilakukan penekanan terhadap pemberdayaan masyarakat dalam perencanan TGL desa dan pemanfaatan hutan.

Dalam proyek ini terdapat konsep Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan (TGLDK) yang menyebutkan bahwa TGLDK adalah hasil perencanaan tata guna lahan secara partisipatif yang merupakan prodk hukum dimana masyarakat menyepakati secara partisipatif fungsi lahan dan pengembangan wilayah desa dan pemerintah mengakui hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lahan.

Alasan dari pemberdayaan TGLDK ini antara lain untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penggunaan pemanfaatan lahan, pemberian jaminan dari pemerintah atas hak dan kewajiban serta sanksi penggunaan lahan dimana masyarakat dibina untuk terlibat dan mengakui perencanaan lahan. Dari alasan pemberdayaan TGLDK ini tercermin usaha untuk meningkatkan konsistensi dalam pelaksanaan dan pengawasan implementasi TGL antara stakeholder yang paling dominan yaitu pemerintah dan masyarakat. Hal ini sangat penting guna menghindari konflik seperti belakangan sering terjadi berkaitan dengan penguasaan lahan.


TGLDK ini sama sekali tidak terlepas dari tujuan pembangunan pedesaan dan dokumen-dokumen perencanaan daerah lainnya. Hal ini dapat dicermati melalui penetapan fungsi dan tujuan TGLDK antara lain berfungsi untuk menjamin pemanfaatan lahan pedesaan, menjamin keamana penggunaan lahan desa dan bertindak sebagai pedoman pembangunan desa. Tujuan dari TGLDK ini antara lain menyusun suatu kesepakatan penggunaan lahan desa, penjabaran RTRWK ke dalam penggunaan lahan desa yang lebih rinci dan menciptakan harmonisasi dalam pembangunan.

Dari uraian di atas dapat dicermati adanya kesinambungan antara perencanaan yang bersifat formal-normatif melalui jalur birokrasi pemerintahan ke arah perencanaan yang lebih bersifat merakyat melalui perencanan partisipatif. Legalitas dari perencanaan ini juga didukung oleh pemerintah daerah melalui pengesahan oleh Bupati dan adanya pemantauan serta pengendalian oleh instansi terkait. Dalam keseluruhan proses perencanaan dan implementasi TGLDK, masyarakat juga diikutsertakan serta dibina agar dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab akan pertumbuhan daerahnya sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, potensi dan kearifan lokal yang dimiliki daerah tersebut.














Seperti telah diuraikan di atas, Roberts (1986) salah satunya menekankan pada pentingnya keterlibatan publik pada proses perencanaan yang sungguh beralasan karena publik (masyarakat) memiliki penguasaan yang tinggi akan potensi daerahnya baik potensi alami maupun yang berkenaan dengan aspek demografi dan ekonomi. Peran serta pemerintah dalam hal ini juga sangat penting sebagai penetap regulasi dan pemegang anggaran utama serta pelindung atas keputusan yang telah ditetapkan.

Kerjasama yang solid antara stakeholder dan kedekatan yang erat antara subjek dan objek perencanaan TGL mampu menciptakan produk TGL yang berkesinambungan dalam menghadapi dinamika dalam masyarakat desa. Masyarakat sebagai subjek dan pengguna dapat dengan cepat melakukan monitoring dan evaluasi yang dilanjutkan dengan kegiatan pemuktahiran TGL seperlunya dengan dibimbing oleh instansi terkait.

Pertanian merupakan salah satu contoh penting dari pemanfaatan lahan pedesaan. Sampai saat ini, kawasan pedesaan masihsering diidentikkan sebagai pusat kegiatan bercocok tanam. Meskipun disebut sebagai pusat kegiatan pertanian, ternyata kesejahteraan para petani masih tergolong rendah. Rendahnya kesejahteraan ini ternyata bisa dikaitkan dengan rendahnya penguasaan lahan oleh para petani (Saptana et al.). Dalam penelitiannya, Saptana et al menemukan bahwa krisis multidimensi berkepanjangan yang pernah terjadi di pedesaan disebabkan oleh meningkatnya kesenjangan distribusi penguasaan lahan, kurang terencananya penataan lahan serta memudarnya institusi lokal dalampengaturan akses dan kontrol terhadap sumber daya lahan. Lebih mendalam ditemukan pula dalam masyarakat pedesaan bahwa sektor pertanian menyumbangkan nilai sebesar 54,30% - 85,57% dari total pendapatan rumah tangga. Dari angka ini dapat dipahami bahwa TGLDK memegang peranan secara langsung dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui penatagunaan lahan yang baik, akses masyarakat terhadap sumber daya lahan dapat meningkat, kepastian hukum dapat terjamin dan optimalisasi penggunaan lahan dapat meningkat melalui optimalisasi pengusahannya


Kesimpulan dan Penutup


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya kinerja yang sinergis dan kemitraan antara stakeholder Tata Guna Lahan Pedesaan yaitu Masyarakat, Pemerintah dan LSM. Paradigma yang memandang masyarakat sebagai bagian dari objek perencanaan harus diubah sebab telah terbukti bahwa masyarakat juga memiliki kemampuan untuk menelusuri permasalahan, merumuskan solusi dan mengambil keputusan. Pemerintah harus mendukung dengan fungsi regulasinya dibantu LSM yang banyak berperan sebagai mediator.

Kemampuan masyarakat dalam memahami lingkungannya tidak dapat diragukan karena adanya hubungan yang erat antara masyarakat pedesaan (manusia yang dipenuhi oleh kearifan lokal) dengan lingkungan. Sesungguhnya masyarakat tradisional Indonesia telah memiliki teladan dalam hal penataan dan pemanfaatan lahan antara lain pada penatagunaan lahan Suku Dayak yang menjalankan penataan dengan sistem kebinuaan dimana ada tujuh komponen (Saptana, et al.), yaitu : (1) kawasan hutan yang dilindungi dan dicadangkan bagi masa depan, (2) tanah yang ditanami pohon dan buah-buahan, (3) tanah yang ditanami pohon karet, kopi, lada, kakao dan tanaman keras lainnya, (4) tanah pertanian yang sedang digunakan dan yang sedang diistirahatkan atau pola usaha tani gilir balik, (5) tanah pekuburan dan tanah keramat, tanah perkampungan, (7) sungai dan danau untuk perikanan.


Ada banyak konsep mengenai perencanaan tata guna lahan khususnya pedesaan. Dari sekian banyak konsep tersebut yang tetap terpenting adalah pemberdayaan masyarakat sebagai subjek melalui kegiatan pastisipatif.

Kepustakaan


Adisasmita. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Graha Ilmu. Yogyakarta.


.............. Perencanaan Tata Guna Lahan Partisipatif dan Proses Pengembangan PHOM dan PHA.

http://www.dephut.go.id/halaman/PDF/poster_SFDP/Poster_2.pdf


Nasution, A.I. 2008. Pemetaan Desa Secara Partisipatif.

http://karstaceh.com/entrance/pemetaan-desa-secara-partisipatif-2


Roberts. 1986. Principles of Land Use Planning, dalam Beatty et al. Planning The Uses And Management of Land. Agronomy no. 21. America Society of Agronomy, Inc., Crop Science Society of America, Inc., Soil Science Society of America,Inc. USA. h.48-51.


Saptana, et al. Penatagunaan Lahan, Implikasinya Terhadap Pendapatan Petani. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr254034.pdf









TANTANGAN DUNIA KERJA KAUM NASRANI

I. BEBERAPA PERTANYAAN MENDASAR


I.1 Ada Apa Dengan Tantangan ?

Pada bagian ini, ‘tantangan’ merupakan pertanyaan mendasar. Mengapa kata tantangan diangkat? Kenapa tidak mempergunakan kata ‘masalah’ (Masalah Dunia Kerja)? Atau mempergunakan kata-kata lainnya seperti ‘kendala’, ‘hambatan’ atau kata-kata yang berkonotasi negatif lainnya. Padahal, kata-kata ini (tantangan, masalah, kendala, hambatan dan lain sebagainya) sama-sama memiliki konotasi yaitu hal yang mengganggu jalannya suatu proses.

Tantangan dalam konotasi yang positif memiliki banyak pemahaman. Tantangan dalam pembahasan ini apakah sama dengan tantangan pada kuis atau relity show seperti fear factor? Atau apakah sama dengan tantangan pada olahraga yang meningkatkan adrenalin seperti panjat tebing, arung jeram atau sebagainya. Padahal, bermacam-macam tantangan disini juga memiliki benang merah yaitu sesuatu yang bersifat kompetitif, yang jika berhasil dilewati akan mendapat sesuatu berupa rasa puas, hadiah, imbalan dan lain sebagainya.

Dalam pembahasan ini tantangan memiliki dimensi yang berbeda. Meskipun dalam perspektif lain juga bersifat kompetitif tetapi dalam konteks tertentu ada perbedaan. Reality show atau olah raga menegangkan lainnya dapat kita hindari apabila tidak berkenan. Tetapi, kita tidak dapat menghindar atau melarikan diri dari tantangan yang kita hadapi dalam dunia kerja seperti dalam pembahasan ini.


I.2 Ada Apa Dengan Dunia Kerja ?

Dunia kerja sering diidentikkan sebagai dunia nyata. Seorang anak mengalami masa pendidikan yang berjenjang, menjadi remaja dan berkuliah sebagai seorang pemuda kemudian akhirnya menamatkan pendidikannya. Saat itulah seseorang dianggap telah memasuki dunia nyata. Kemudian apakah masa kecil dan masa remaja tidak dianggap sebagai kehidupan nyata? Apabila benar, berarti sama saja bahwa para anak dan remaja selama ini hanya tidur sambil berjalan.

Sepertinya banyak hal yang harus diluruskan terutama karena kita harus berfikir dalam konteks Kristiani karena karya Tuhan selalu nyata dalam setiap bagian dunia kita. Sebenarnya yang membedakan dunia anak, remaja, pemuda dan dewasa adalah tingkat tanggung jawab. Seorang anak SD tentu memiliki tanggung jawab yang berbeda jika dibandingkan anak SMP. Demikian juga seorang mahasiswa juga tentu memiliki tanggung jawab yang berbeda dibandingkan seorang sarjana, dimana seorang sarjana juga memiliki peranan yang besar sebagai seorang dewasa dalam rumah tangga dan seorang yang berilmu dalam masyarakat. Meskipun, dalam beberapa kondisi ada seorang remaja yang harus memikul tanggung jawab mencari nafkah seperti orang dewasa. Pemahaman ini membuat setiap jenjang kehidupan kita menjadi bermakna, dimana kita tidak hanya menjalankan masa kecil, remaja, pemuda dan dewasa sebagai suatu siklus kehidupan tanpa arti.

Seperti sudah sedikit disinggung di atas, kapan sebenarnya kita harus merencanakan untuk bekerja? Apakah saat ini, setelah lulus kuliah atau mungkin kita sudah terlambat untuk merencanakannya. Hal ini hanya bisa dimengerti apabila kita memahami bahwa Tuhan memiliki rencana yang berbeda bagi setiap anak-Nya.

Pertanyaan yang paling besar mungkin adalah untuk apa kita bekerja. Kaum apatis hanya berpandangan bahwa bekerja hanya bagian dari siklus kehidupan (lahir, masa kecil, dewasa, bekerja, menikah, meninggal). Ada banyak pandangan di masyarakat bahwa alasan bekerja dan memilih jenis pekerjaan adalah prestise. Seseorang dianggap berhasil apabila bekerja sebagai tukang insinyur atau dokter spesialis. Sementara itu pandangan yang lain berpendapat bahwa yang terpenting adalah bekerja secara halal. Ada pandangan mengenai hasil dan proses yang bertabrakan. Pandangan yang ketiga tadi sering muncul dari masyarakat yang cenderung putus asa dalam menghadapi persaingan jaman sementara itu, kita harus berhati-hati dengan pandangan kedua tadi. Kristus tidak pernah mengajarkan konsep kesuksesan. Yang ada adalah tujuan hidup berupa keselamatan yang dipenuhi damai sejahtera dalam lindungan dan kasih Tuhan.

Damai sejahtera kita peroleh dari sebuah proses bergumul dalam kehidupan yang selalu disertai dan diberkati Tuhan. Hal ini hanya terjadi apabila kita menjalani tanggung jawab sebagai anak-Nya dalam setiap lapisan perjalanan hidup kita. Tanggung jawab inilah yang menjadi kata kunci dalam pembahasan kita.


II. TANGGUNG JAWAB SEORANG PEKERJA KRISTEN

II.1 Bekerja Sebagai Seorang Hamba Yang Setia

Kejadian 39 :1 – 10 (Yusuf di rumah Potifar)

Kisah mengenai kiprah Yusuf di tanah Mesir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masa lalunya di tanah Kanaan. Dalam masa remajanya Yusuf hidup sebagai seorang penggembala ternak yang setia pada ayahnya, Israel. Kemudian karena kecemburuan saudara-saudaranya, dia dijebak dan dijual sebagai budak belian di tanah Mesir. Kekejaman yang seharusnya tidak layak ia terima ternyata Yusuf jalani dengan kepasrahan pada penyertaan Tuhan sehingga perjalanan hidup yang pahit oleh kejahatan saudara-saudaranya berubah menjadi berkat bagi orang asing di sekitarnya. Tuhan bekerja dalam rancangannya yang penuh misteri.

Ada beberapa nilai yang dapat diambil dari kisah ini. Yang pertama adalah PENYERAHAN DIRI pada rencana Tuhan. Tuhan memiliki rancangan yang “mustahil” dalam logika manusia dan “kemustahilan” itu pasti membawa damai sejahtera apabila kita tetap berjalan dalam rancangan-Nya. Bahkan disebutkan bahwa Tuhan sudah merencanakan jalan hidup kita jauh sebelum kita dilahirkan. Dalam hal ini Tuhan juga memberi kita hak kebebasan untuk memilih jalan: apakah mengikuti jalan-Nya, atau memilih untuk putus asa, merasa gagal dan mengambil jalan dunia. Kisah Yusuf mengajarkan betapa dia begitu mempercayakan kehidupannya pada Tuhan dengan tidak menyalahkan masa lalunya (bahkan memaafkannya) dan ketakutannya akan lingkungan yang sangat asing di tanah Mesir.

Nilai yang kedua adalah KETAATAN. Yusuf memberi contoh bagaimana dia begitu taat pada tuannya yang adalah orang asing dan ketaatan itu membuahkan berkat bagi tuan dan keluarganya. Tuannya bisa melihat kehadiran Tuhan dalam diri dan tindakan Yusuf. Tuannya yang dahulu adalah seorang yang tidak mengenal Tuhan, kemudian melihat karya Tuhan melalui Yusuf. Ada makna penginjilan dalam kisah ini.

Efesus 6:5 mengajarkan konsep ketaatan seorang hamba. Seorang hamba harus taat pada tuannya di dunia dengan takut dan gentar dan dengan tulus hati seperti taat pada Kristus. Konsistensi seorang hamba dapat diukur dari kepatuhan dan rasa hormatnya pada tuan atau atasannya, hal inilah yang membuat pekerjaan bisa berjalan dengan lancar karena dikerjakan dengan penuh tanggung jawab. Rasa takut dan gentar juga menghindari seorang hamba dari sifat sok tahu, sehingga dalam melaksanakan tugasnya dia senantiasa meminta dan mematuhi petunjuk atasannya. Jangan tinggalkan sifat tulus hati. Bekerja tanpa ketulusan dapat menimbun permasalahan seperti rusaknya motivasi dan orientasi pekerjaan pada hasil seperti penghasilan, uang honor atau lainnya dengan tidak mengindahkan kualitas dan loyalitas. Seorang pekerja dapat dengan mudah “dibeli” dengan materi dan bekerja demi materi. Taat pada tuan seperti taat pada Kristus berarti meletakkan loyalitas tertinggi pada Kristus. Ajaran Kristus menjadi panduan kita dalam memilah segala keputusan di dunia. Taat pada tuan tanpa taat pada Kristus mengakibatkan kita menjadi seperti mesin pencari keuntungan bisnis yang bekerja sepenuhnya bagi kepentingan kantor atau perusahaan. Dengan meletakkan dasar ketaatan pada Kristus, kita menjadi seorang yang berhikmat dan terhindar dari hal-hal yang menodai keselamatan kita.

Nilai ketiga adalah TANGGUNG JAWAB. Dalam Kejadian 39:6 disebutkan bahwa betapa tuannya menikmati kepuasan atas pekerjaan Yusuf dan menaruh kepercayaan yang besar padanya karena dia percaya pada Yusuf. Jadilah seseorang yang bisa dipercaya karena orang melihat penyertaan Tuhan dalam pemikiran, sikap dan pekerjaan kita.

II.2 Bekerja Sebagai Seorang Ahli

Penyertaan Tuhan dalam pekerjaan Yusuf membuat segala karyanya berhasil. Kesetiaan Yusuf pada Tuhan membuat semua tuannya sayang padanya. Tuhan memberi Yusuf kemampuan sesuai kebutuhannya. Sesungguhnya Tuhan telah memberi kita talenta dan menghendaki kita mengembangkan talenta itu (Roma 12:6-8). Apakah kita sudah mengasah talenta kita? Atau mungkin kita memiliki persepsi yang salah mengenai talenta. Apakah selama ini kita mempergunakan talenta hanya sebagai hobi atau mungkin kita saat ini hidup dalam jiwa yang kerdil, menganggap kita tidak memiliki apa-apa? Ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Ketuklah dengan doa disertai motivasi untuk melayani, Tuhan akan berbelas kasihan memberi apa yang kamu butuhkan dan jalanilah dengan ketekunan sebab hari-hari adalah jahat (Efesus 5:16).

II.3 Bekerja Sebagai Pembawa Berkat

Kehadiran Yusuf membawa berkat tidak hanya karena dia seorang yang taat atau patuh, tetapi dia juga tahu kapan harus menolak. Nafsu keduniawian yang merupakan wujud godaan tertinggi dunia ditolak karena Yusuf takut pada tuannya seperti takut pada Tuhan. Janji penyertaan Tuhan menjadi dasar pengambilan keputusan. Hal ini tercermin tidak hanya dalam keberhasilan dalam pekerjaannya tetapi juga dalam sikap kerendah hatiannya.

II.4 Pekerja Kristen Tidak Butuh Kesuksesan

Dari kisah hidup Yusuf kita memperolah gambaran mengenai keberhasilan. Dalam Alkitab, tercatat beberapa kali pekerjaan Yusuf membuahkan keberhasilan. Yang terpenting adalah faktor yang menyebabkan keberhasilan itu, yaitu Tuhan. Potifar sendiri melihat bahwa Tuhan menyertai Yusuf dan nyatalah bahwa Tuhan yang memberi keberhasilan itu. Yusuf sendiri juga menyadari penyertaan Tuhan itu sebagaimana dia menamakan kedua anaknya yaitu Manasye yang berarti Allah telah membuat aku lupa sama sekali kepada kesukaranku dan kepada rumah bapaku, kemudian Efraim yang berarti Allah membuat aku mendapat anak dalam negeri kesengsaraanku.

Apakah konsep ini sama dengan kesuksesan yang saat ini sering kita pergunakan? Apakah yang membuat seseorang cukup bangga apabila bekerja sebagai tukang insinyur atau dokter? Apakah pernah hati kita kecut saat mengetahui saudara kita memiliki tanah yang luas sementara saat ini harga susu sangat mahal? Pertanyaan ini lahir dari paradigma yang sudah terserap secara dalam di hati kita. Banyak orang mampu mengubah pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi cambuk untuk berusaha dan bekerja sangat keras agar dapat hidup di atas rata-rata sementara tidak sedikit yang jiwanya menjadi kerdil karena menganggap dirinya tidak memiliki kesempatan sebaik orang lain. Kehidupan gereja juga sudah dipengaruhi oleh paradigma ini sehingga kesuksesan kegiatan pelayanan diukur dari seberapa banyak orang yang “terlayani”. Hal ini mungkin yang mendorong panitia kegiatan mengundang dan mengiklankan artis (selebritis) sebagai pelayan pujian atau mencantumkan nama tokoh agama yang memiliki ribuan jemaat dan mengiklankan sebagaimana layaknya selebritis. Kita tidak butuh kesuksesan karena kita sudah memiliki keselamatan yang cukup membuat kita melewati pintu Surga yang sebesar lubang jarum.

Pada akhirnya, kenapa kita tidak mengundang Kristus dalam setiap rencana dan pekerjaan kita? Mulailah dengan berdoa, mengucap syukur atas sejengkal waktu yang Tuhan berikan. Memohon hikmat, kesempatan, kekuatan dan kecerdasan yang cukup untuk melaksanakan tanggung jawab kita. Memohon agar Tuhan menumbuhkan dalam hati kita motivasi yang baik untuk bekerja dan berkarya bagi kemuliaan-Nya dan kemanusiaan. Selanjutnya adalah menjalani apa yang terbaik dengan tanggung jawab, ketekunan dan ketaatan. Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda-beda dan semuanya baik sebab segala hal adalah indah dalam penyertaan Tuhan.